Rabu, 24 September 2014

Profil Syuhada, Mujahidin Maladewa, Abu Nuh (rahimahullah)





Abu Nuh (rahimahullah)


Sungguh, dengan meneladani kehidupan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalaam -kejujurannya dan perjuangannya atas kebenaran- maka keimanan dalam hati seseorang menjadi kuat dan mantap.
Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan dalam Madarija Salikin bahwa Junayd rahimahullah berkata, “kisah-kisah merupakan tentara dari pasukan-pasukan Allah, yang dengannya Dia kuatkan hati-hati orang yang mendambakan-Nya.”
Kemudian ia mengutip:
وَكُالًّ ن قَُّصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاءِ الرُّسُلِ مَا ن ثَُبِّتُ بِهِ ف ؤَُادَكَ
Artinya: “Dan setiap kisah yang kami riwayatkan kepadamu dari kabar-kabar dari Rasulullah adalah untuk mengokohkan hatimu.” [akhir ucapannya – Madarija Salikin]
Kita juga pahami bahwa dengan mengingat kehidupan orang-orang yang shalih merupakan sumber rahman Allah dan menguatkan keimanan kita. Tetapi jika kisah-kisah tersebut tidak dimanfaatkan sesuai hakikatnya, hanya didengar telinga dan diucapkan lisan saja, maka kisah-kisah tersebut akan terhapus dari ingatan dan hilang dari sejarah, seiring bergulirnya waktu. Karenanya, semoga Allah menggolongkan kita dengan orang-orang yang mau menyimak dan mengambil hikmah dari kisah-kisah tersebut.
Kali ini, atas rahmat Allah, kita akan mengupas kisah akhuna, Asy-Syahid, Mujahid dan Muhajir, Abu Nuh rahimahullah. Ia bekerja keras mengabdikan diri dalam jihad dengan jiwa dan lisannya, seorang ikhwan yang mengorbankan jiwanya, sehingga dapat menjadi teladan bagi generasi berikutnya.
Ia adalah pria yang kesetaraannya sulit ditemukan pada ummat masa kini. Ialah pria yang menyenangkan teman yang merasakan betapa khas kehadirannya. Dengan akhlaknya, ia mencerminkan ketulusan. Ia tinggalkan keluarga dan semua yang berharga dalam hidupnya, demi keridhoan Allah. Ia ganti cinta duniawinya dengan cinta Ilahi yang kokoh, penuh keyakinan akan janji Rabb-nya, bahwa Allah akan mengganti semua yang ditinggalkannya dengan yang lebih baik.
Allah memberkahinya semasa ia hidup dan selepas ia wafat. Ia biarkan darahnya mengalir di jalan Allah demi menebus ratusan nyawa, menakuti musuh-musuh dan menyenangkan hati orang-orang mu’min. Ia terlahir sebagai manusia yang bebas dan menghamba kepada Al-Malik saja. Ia mengungguli kita lewat tekad-tekad baik dan hasil kerjanya yang memukau, sebagai martir pendahulu kita. Ialah lelaki martir terbaik pilihan Allah dari ummat biasa, dimana ia memilih perpisahan yang indah dengan kehidupan fana ini. Ia fungsikan imannya secara optimal sebagai pendongkrak derajatnya di hadapan Allah.


Pria yang kita bicarakan adalah Abu Nuh, seorang muhajirin dan mujahid yang syahid di Ariha, Idlib , Syria pada 25 Mei 2014, saat melawan kekuatan rezim kafir bersama para Mujahidin.
Mari kita mulakan kisah heroik beliau dengan ungkapan hati isteri tercintanya, sesaat setelah sang imam menjemput kesyahidan:
“Aku bangga dengan suamiku. Ia suami yang setia, ayah yang hebat dan seorang anak yang sholih. Seluruh keluarganya bangga dan berbahagia atas kesyahidannya, kami tak dapat membayangkan apa ketetapan yang Allah subhanahu wata’ala perjalankan baginya di kemudian hari.
Meninggalkan kami dan segala apa yang ia miliki adalah pilihan tersulit yang telah ia ambil, namun tak membuatnya urung mengorbankan duniawinya demi akhiratnya. Ialah pria yang sangat lapang memberikan segala dukungan tenaga dan emosinya semasa ia hidup, bak seorang penjaga yang siaga melindungi keluarganya. Ia membuktikan kepada kita bagaimana ia memperjuangkan Islam tidak hanya melalui kepandaian yang terpancar dari lisannya saja, namun juga dengan aksi yang mencerminkan semua kata yang ia ucapkan.
Kami semua mencintainya karena Allah…ia meninggalkan kami dalam kasih Allah subhanahu wata’ala dan siapa lagi yang dapat mengurusi kita dengan lebih penuh kasih, selain Pencipta kita?
Semoga Allah menerimanya dan merahmatinya derajat tertinggi di surga. Aammiin. [Akhir ucapannya]
Sungguh kalimat muqadimah yang mengisyaratkan cinta sejati seorang hamba kepada Ilah-nya. Pun kalimat penyaksi ruh perjuangan seorang Mardhatillah sejati dari seorang isteri yang paling mengenali seorang Abu Nuh, hingga ke lubuk hatinya yang paling dalam.
Sebelum berjuang di Suriah
Sebelum berangkat ke Suriah, Abu Nuh hidup bersama saudaranya di negara Timur Tengah selama beberapa waktu. Saudaranya melihat Abu Nuh sangat berbeda dengan orang kebanyakan. Ia selalu konsisten untuk shaum sunnah Senin dan Kamis, tanpa batal sekali pun. Ia juga selalu mengajak kami melakukan yang haq dan melarang kebatilan.
Suatu hari, adik yang berusia 15 tahun menyebut temannya dengan sebutan “kafir”, gegara ribut tentang suatu perkara. Lalu Abu Nuh lah yang pertama kali melerai mereka dan memberi tahu adiknya. Abu Nuh menegaskan kepada sang adik betapa bahayanya julukan tersebut, apalagi diucapkan anak kecil yang emosional begitu. Julukan “kafir” hanya boleh digunakan pada kepada musuh Allah saja.
Demikian Abu Nuh melarang kebatilan dan menyerukan yang haq. Ia bukanlah sosok yang hanya menyerukan kebenaran tanpa menyertai dengan pelarangan kebatilan.
Seorang ikhwan mengabarkan bahwa saat di Maladewa, Abu Nuh tidak dapat bekerja di satu perusahaan dalam waktu yang lama, sebab setiap profesi yang ia coba geluti, dirasakannya membuat ia jauh dari Diinul haq. Ia lebih memilih cintanya kepada Ar-Razaaq, daripada terus bekerja dengan iming-iming gaji yang tak sedikit.
Pun cerita lain disampaikan seorang ikhwan, bahwa selama di Maladewa, Abu Nuh tiada henti mencari jalan agar dapat bergabung dalam jihad fii sabilillah. Saat itulah, ikhwan ini mengetahui bahwa inilah sosok Muslim yang dengan tulus merindukan ruh jihad dari benaknya yang paling dalam, bukan sekadar semangat hiasan bibir. Bahkan ia mengatakan bahwa Abu Nuh sengaja bekerja keras mengumpulkan uang untuk biaya berangkat berjihad, bergabung dengan Mujahidin. Ia begitu ikhlas lillahi ta’ala memenuhi undangan jihad dan Allah benar-benar memanggilnya. Begitulah pertimbangan kami saat menyambut semangat jihadnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Maka setelah tinggal di Maladewa beberapa lama, ia putuskan berangkat ke Suriah menjemput syahid, dan saya mengikuti jejak jihad beliau. Kala itu, isteri Abu Nuh sudah masuk waktu persalinan anaknya yang kedua, tepatnya minggu kehamilan terakhir.
Sementara, Abu Nuh tak kuasa menolak pintu jihad yang telah terbuka di hadapannya, setelah sekian lama ia berupaya menemukannya. Ia pun perteguh tekadnya dan memilih cinta Allah di atas cintanya akan buah hatinya yang segera terlahir ke dunia, sejalan firman Allah:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya: “Wahai Muhammad, katakanlah kepada kaum mukmin: “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kerabat-kerabat kalian, harta kekayaan yang kalian peroleh, perdagangan yang kalian khawatirkan kehancurannya, dan tempat-tempat tinggal yang kalian senangi, lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad guna membela agama-Nya, maka tunggulah turunnya adzab Allah menimpa kalian.” Allah tidak memberi hidayah kepada kaum yang lebih mencintai kesenangan hidup di dunia daripada membela agama-Nya.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Dan ia bukanlah golongan mereka yang meminta izin untuk tinggal di rumah bersama keluarga di saat panggilan jihad menjadi fardhu’ain.
Dimana Allah berfirman:
وَإِذَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُن مَّعَ الْقَاعِدِينَ
Artinya: “Jika sebuah surah Al-Qur’an diturunkan kepada kaum munafik agar mereka beriman kepada Allah dan berjihad bersama Rasul-Nya, maka orang-orang munafik yang kaya dan para tokohnya meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berperang. Mereka berkata: “Biarkanlah kami tinggal di rumah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.”” (QS. At-Taubah, 9: 86)
Demikianlah, ia tinggalkan segalanya demi ridha Allah dan keluar dari rumahnya, menghadapi sebuah tahapan kehidupan baru, sebuah jalan yang menanjak lagi sukar, penuh dengan kekejian fisik dan kerasnya cobaan.
Hari saat kami berangkat menuju bandara merupakan hari yang mencekam. Masa itulah krisis politik kian memuncak dan sangatlah berbahaya bepergian dengan janggut sepanjang itu. Bahkan, di perjalanan kami disergap gerombolan penyembah Dewi Kali, namun Alhamdulillah kami tidak mendapat masalah dengan mereka. Beberapa ikhwah menyarankan agar kami mencukur habis janggut di perjalanan sebelum sampai ke bandara. Namun, Abu Nuh rahimahullah menolak saran itu dan mengatakan agar kami tetap membiarkan janggut ini dan meneruskan perjalanan, in shaa Allah tak akan terjadi apa-apa karena Allah menjaga kita. Maka kami teruskan perjalanan dengan aman dan nyaman, tanpa ada ancaman apapun di bawah lindungan Allah subhanahu wata’ala.
Sesampainya di bandara, Allah mudahkan kami terbang, meninggalkan negeri yang sempat kami tinggali. Lantas Allah takdirkan kami memasuki Suriah, setelah transit beberapa waktu di negara tetangga Suriah. Demikianlah, Allah mulakan kehidupan jihad Abu Nuh dalam menjemput kesyahidan. Intanshurullah yanshurukum. 
Jalan jihad Suriah
Di Suriah, kami melihat Abu Nuh piaway menembak target dengan akurat, sesuai dengan apa yang digambarkan Rasulullah sallallahu alayhi wasallam dalam sabdanya dalam riwayat Muslim, “Sungguh, kekuatan ada pada menembak. Sungguh, kekuatan ada pada menembak. Sungguh, kekuatan ada pada menembak.”
Di Suriah, Abu Nuh mensyukuri kelahiran buah hatinya dengan aqiqah. Ia sembelih dua ekor domba dan itu menunjukkan sebuah teladan betapa sigapnya seorang ayah dalam memenuhi hak keluarganya.
Abu Nuh terbiasa terjun Ribat dan selalu bergegas menuju medan perang. Ia sempat terluka sebanyak dua kali sebelum mendapati lukanya yang terakhir sebagai penghantar kesyahidan. Lukanya yang perdana terletak pada kaki, dekat lututnya. Saat itu ia terkena pecahan bom yang menghunus dari arah kirinya. Dengan sabar ia menempuh masa penyembuhan dengan penuh kerinduan atas turut Ribat kembali.
Lukanya yang kedua didapati satu bulan sebelum kesyahidan. Saya tengah duduk di sebelahnya saat beberapa pecahan bom melesat menghujam di kaki kanannya, tepat dibawah lutut. Namun, ia ingin tetap pada posisinya sambil berkata, “Ini hanya luka kecil, saya tidak akan kembali,” sampai akhirnya ia terpaksa harus kembali ke markaz bersebab pendarahan yang tak terkendali. Demikianlah upaya Abu Nuh berkuat hati menahan sakit, berani mengambi risiko perjuangan sekuat tenaga.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan:
Abu Hurairah mengisahkan, Rasulullah shalallahu’alaihi wassalaam bersabda, ” Siapapun yang terluka di jalan Allah, akan dibangkitkan di hari kiamat dengan lukanya mengeluarkan darah yang beraroma kesturi.”
Jihad media
Sangat penting untuk diketahui, bahwa karya jihadi Abu Nuh tak terbatas pada jihad qital di medan perang saja, namun juga jihad pada media. Ia adalah seorang penyair handal. Begitu banyak puisi-puisi jihad dan puisi keislaman yang telah ia tulis. Salah satu puisinya yang tertuang indah berjudul “atheis“, sebuah puisi yang menjawab segala bentuk gangguan seorang lawannya yang atheis di media online. Puisi tersebut ditulis dalam bahasa Maladewa yang dinyanyikan ikhwan lain dan tersedia dalam bentuk online dalam judul “Ilhaad“, yang artinya atheisme.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Suriah, Abu Nuh merekam suaranya mendendangkan sebuah puisi yang ia sampaikan khusus untuk ibunda tercinta, sarat akan nilai dasar-dasar Islam dan mengabarkan bahwa putranya sedang ada pada jalan kebenaran, menggapai ridha Ilahi. Puisi tersebut juga tersedia di internet dengan judul “Loabiva Mamma ah” yang artinya “teruntuk ibunda tercinta”. Kami hadir bersama Abu Nuh saat ia merekam puisi emosionalnya. Betapa nampak perjuangannya bermusikalisasi puisi (tanpa instrumen) sambil menahan air mata saat menyebut ibundanya. Siapapun yang mendengarkan puisi itu akan menemukan bahwa apa yang kami gambarkan di sini adalah nyata.
Ia memiliki banyak puisi yang ia dendangkan sendiri dan sebagian sudah dirilis atau disimpan dalam bentuk rekaman suara, sementara yang tak terhitung lainnya menunggu dibunyikan, terabadikan dalam buku catatannya, membisu dalam kebermaknaan.
Satu kelebihannya yang lain adalah semangatnya yang menggebu dalam menebar dakwah melalui wawancara dengan para ulama tentang pentingnya berjihad. Salah satu wawancara tersebut telah dirilis oleh media Mujahidin dengan judul “Faridatul Jihad”, dimana Syeikh Abu Abdullah al-Suri -presiden Dewan Syari’ah Kafarrumat- menjawab semua pertanyaan Abu Nuh.
Menjelang hari-hari terakhirnya, ia sedang sibuk merencanakan kegiatan di media guna meningkatkan kesadaran Ummat akan keutamaan dan pentingnya Jihad. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencatat semua amal sholih dan niatnya yang mulia.
Sebagai tambahan, saya ingin mencatat bahwa berita kesyahidannya telah memberi pengaruh yang besar terhadap dakwah. Hal ini begitu mungkin terjadi, seperti apa yang telah terjadi akan kesyahidan Mujahid-mujahid terdahulu. Seperti dikisahkan bahwa Haram bin Milhan telah ditikam dan semasa sekaratnya, ia berkata “Demi Tuhannya Ka’bah, saya telah berhasil.” Lantas orang yang menikamnya bertanya keheranan, “bagaimana ia bisa sukses, padahal saya membunuhnya?”, dan akhirnya jawaban demi jawaban tentang kesyahidan menggiringnya memeluk Islam. Subhanallah.
Inti dari peristiwa tersebut adalah bagaimana beruntungnya orang yang syahid seperti Haram bin Milhan, dimana ia menampakkan kesabaran, keistiqamahan dan kecintaan akan syahid di jalan Allah. Itulah yang menarik hati pembunuhnya sehingga terdakwahi dan menjadi faham akan Islam.
Demikian pula dengan kesyahidan saudara kita Abu Nuh dan Abu Turab, menyisakan indahnya sabar dan istiqamah mencari syahid hingga apa yang didambanya sampai ke telinga kita, dimana kehidupan abadi dihadiahkan Allah bagi mereka yang mati syahid. Kecintaan terhadap Islam dan Jihad, hidup dan tumbuh dalam hati mereka. Dan kenyataan ini dapat kita saksikan sendiri dampak dari kisah kesyahidan saudara-saudara kita terhadap semangat para ikhwan saat ini.
Dengannya kita saksikan terbarukannya semangat jihad para Mujahidin lewat mereka dan kita bermohon kepada Allah untuk memberinya pahala yang baik. Sungguh, mereka telah memberikan hidup atas perkataan-perkataannya lewat darahnya, dan melalui darah dan kata-katanya mereka nyalakan kehidupan para ikhwah, melampaui kegelapan dunia, bercelup dalam lautan Jihad, menuju janji Allah ta’ala akan indahnya Jannah. Allahu Akbar!
Ketaatannya dalam beribadah
Sebagai bentuk ketaqwaan Abu Nuh kepada Allah, maka saya selalu melihatnya shaum sunnah setiap hari Senin dan Kamis, kecuali saat ia harus minum obat karena sedang terluka. Pun ia selalu menjaga wudhunya di saat ia batal wudhu, meskipun di tengah malam pada cuaca musim dingin dimana air bak es batu yang menggigit. Tak hanya itu, ia tetap berwudhu meski ia sedang sakit dan tak dapat berjalan sendiri akibat luka yang parah.
Setiap malam ia shalat malam sambil menangis, hingga tak kuasa ia terisak dan terdengar oleh ikhwan yang lain. Saya suka meluangkan waktu untuk pura-pura tertidur di bawah selimut, menikmati air mata sujudnya di atas sajadah yang berada di samping tempat saya berbaring. Seorang ikhwan berkata, sulit sekali menemukan Abu Nuh shalat Shubuh dalam keadaan tidak merajuk, penuh tangis kepada Allah. Ia bahkan tak pernah meninggalkan shalat Tahajud meskipun ia tak mampu shalat sambil berdiri.
Saat malam tiba, ia akan meminta tolong kepada ikhwan untuk menaruh sebuah ember kecil berisi air suci dan mensucikan di sebelah tempat tidurnya agar ia dapat berwudhu dan shalat di atas pembaringan. Ia terbiasa menasihati ikhwan agar selalu mengingat Allah dan tak ada yang tak terpengaruh perkataannya.
Dalam hal harta, ia sangat berhati-hati saat menggunakannya. Ia tak akan mengeluarkan uangnya terkecuali untuk hal yang sangat ia butuhkan dan ini tersirat dalam surat wasiatnya setelah Syahid. Ia meminta uang yang ia tinggalkan digunakan di jalan Jihad dan dilarang dihabiskan untuk hal selain itu.
Setiap malam sebelum tidur, ia selalu membaca sesuatu dari telepon genggamnya. Entah apa yang ia baca, karena hingga kini kami tidak menemukan apapun disana. Tentunya, jikapun ada, ingin sekali dikabarkan disini, untuk kita jadikan pelajaran.
Di atas segala yang menjadi kebiasaannya, menjelang keSyahidannya, para ikhwan mencermati beliau begitu istiqamah dan khusuk dalam ibadahnya, lebih dari biasanya.
Semasa hidup, ia memiliki keinginan yang kuat untuk menempati derajat yang tinggi di surga. Suatu hari, para ikhwan saling mengungkapkan betapa mereka ingin lebih dulu menggapai keSyahidan sebelum yang lainnya, lantas Abu Nuh berkata dengan santainya “saya tidak keberatan apakah saya menjadi syuhada yang pertama atau yang terakhir, selama saya menempati derajat yang lebih tinggi di Jannah daripada kalian,” lalu semuanya tertawa.
Terhadap dirinya sendiri, Abu Nuh begitu ketat. Ia selalu berusaha keras memurnikan tauhidnya, membaguskan ibadahnya, dan memperbaiki amalannya yang keliru. Ia selalu ingin menyucikan hatinya dari segala bentuk kebencian atau permusuhan atas para ikhwan, terkecuali kebencian yang diridhai Allah. Pun atas kesalahan para ikhwan, ia begitu pemaaf dan memaklumi kesalahan yang lain begitu tulus. Kami dapati sungguh kesabaran Abu Nuh dalam pergaulan begitu luar biasa. Meskipun saat ia dalam keadaan marah atau tersinggung, ia selalu menyegerakan tersenyum kembali dan menghibur para ikhwah lagi.
Abu Nuh vs. ahli bid’ah
Ia selalu membenci musuh Islam dengan sangat. Salah satunya adalah kebenciannya kepada Jama’ah Al-Baqdadi, dimana ia rela melawan perilaku bid’ah, kekejaman dan fitnah mereka terhadap Ummat Islam.

Pada hari terakhirnya, ia berkata kepada salah seorang ikhwan tentang bagaimana cara menuju wilayah Dar el Zour sehingga dapat memerangi para ekstrimis Khawarij yang menyerang Muslim Sunni setiap waktu. Perlu diketahui bahwa Jama’ah Al-Baqdadi adalah kelompok yang selalu menentang semua inisiatif perdamaian yang diusulkan para ulama independen, juga memusuhi para Mujahidin dan seluruh Ummat Islam. Mereka adalah kelompok bughat (pemberontak pembuat makar) yang berpaling dari Ummat Islam dan wajib dilawan hingga mereka kembali ke jalan yang benar, taat kepada Allah.
Pada saat yang sama, mereka juga menafikan semua institusi Syar’i dimana hakim-hakimnya berasal dari kaum ulama Islam. Padahal dengan begitu, mereka benar-benar tergolong Thaifah Mumtani’ah (kelompok yang menolak hukum syari’at), yang dengan kekuatannya memerangi institusi-institusi Syar’i yang independen.
Dengan demikian, mereka patut kita lawan menurut syari’at Allah. Namun, menurut politik syar’i, para pemimpin kita tidak diijinkan melawan mereka terkecuali dalam rangka melakukan pertahanan. Juga perlu dicatat bahwa Abu Nuh tidak ragu mengambil keputusan melawan mereka. Tentu, bukan tanpa sebab dan penelitian yang mendalam akan fatwa para ulama, maka ia berani mengambil keputusan perlawanan atas Khawarij itu.
Kebencian Abu Nuh tidak hanya terhadap kaum takfiri saja, tetapi juga kepada semua sekte sempalan Islam. Ia juga membenci para Muslim yang mengelu-elukan demokrasi, juga mereka yang tergolong neo-Murji’ah, ahli bid’ah yang membuat-buat amalan baru selepas kaum terdahulu (Salaf). (Silakan baca Al milaal wan nihaal karangan Al-Syah Rastaniatau Gerakan Pemikiran dan Politik dalam Islam oleh World Assosiation of Muslim Youth).
Mimpi mendapat kabar gembira (bashiraan)
Baik Abu Nuh maupun banyak ikhwan lain, telah mendapatkan mimpi indah tentangnya. Sayangnya, saat ini saya sudah lupa beberapa mimpi itu. Namun, saya tetap akan memaparkan beberapa diantaranya yang masih saya ingat, In syaa Allah.
Sebelumnya, saya tekankan bahwa mimpi bukanlah sesuatu yang menentukan sebuah kebenaran (baca: kabar keSyahidan, pent.). Sejatinya, kebenaran akan kebenaran baashiraan (kabar baik) telah dimaktub dalam Qur’an dan Sunnah, seperti yang diyakini para Salaf (Muslim pendahulu). Adapun “mimpi pertanda”, itu adalah bunga tidur yang dapat ditafsirkan oleh seorang mukmin sebagai kabar gembira dari Allah saja, sesuai janji Allah yang termaktub dalam Qur’an dan Sunnah. Di luar itu, mimpi tidak berarti apa-apa.
Baiklah, mari kita hayati beberapa mimpi mengenai Abu Nuh, baik yang dialami Abu Nuh sendiri, ataupun yang dialami dan diceritakan oleh para ikhwan.
Pada bulan pertamanya di Suriah, salah seorang ikhwan melihat Abu Nuh di dalam mimpinya sedang melaksanakan operasi Syahid dan gugur sebagai syuhada disana. Lalu dalam mimpi itu, ia mengajak ikhwan yang lain melihat jasad Abu Nuh dan mereka menemukan wajah beliau begitu terang dan cerah. Kemudian mereka melihat kuburan dimana Abu Nuh dikebumikan, disana seorang ikhwan mengucapkan salaam kepada Abu Nuh, dan beliau menjawab salaam itu dari kubur. Maka ikhwan yang bermimpi turut mengucapkan salaam kepada Abu Nuh, dan dibalas salaam olehnya seraya beliau berkata, “inilah kehidupan yang sesungguhnya, saya sungguh bahagia. Maka berjihadlah dengan ikhlash demi mardhotillah dan segeralah kemari, ke dunia dimana aku berada saat ini.” [mimpinya berakhir]
Dan satu mimpi lain yang Abu Nuh sendiri yang menyaksikan bahwa ia dan Abu Talha As-Suri digigit seekor laba-laba. Abu Nuh digigit di kakinya. Lalu ia terbang ke udara, melawan orang kafir dan membunuh banyak dari mereka dengan senapannya kemudian beliau mati Syahid. Lantas ia melihat wajah orang-orang kafir begitu jelek dan legam. Namun wajah Abu Nuh begitu putih benderang seraya bertanya kepada salah seorang kafir, “apakah kamu mati?”, orang kafir itu menjawab, “Saya mati begitu pula kamu.” Tetapi Abu Nuh melihat wajahnya sungguh cerah dan putih, sementara orang kafir itu begitu hitam legam. Dan Abu Nuh melihat janggutnya lebih pendek dari sebelumnya. [mimpinya berakhir]
Abu Nuh berkata tentang mimpinya (semasa hidup pada saat bangun) bahwa setelah ia melihat mimpi itu, ia dan Abu Talha terluka pada pertarungan yang sama dengan Abu Nuh, dimana ia terluka di kakinya, sesuai luka mereka berdua akibat gigitan laba-laba yang tergambar pada mimpinya. Dan beberapa hari setelah itu, janggut Abu Nuh terbakar setengah janggutnya akibat kecelakaan, lalu ia berkata, “dua hal yang saya lihat dalam mimpi telah menjadi kenyataan (gigitan laba-laba dan janggut yang memendek), maka barangkali kali berikutnya akan menjadi keSyahidanku.” Dan betul sekali, belum sebulan setelah itu, ia menjadi Syuhada. Ketiga hal yang disebutkan dalam mimpi itu terjadi dalam rentang waktu satu bulan, dan beliau Syahid dalam keadaan janggut yang pendek serta kaki yang baru sembuh dari luka. Subhanallah.
Abu berkata tentang mimpi ini (dalam kehidupan nyata, semasa ia masih hidup) bahwa setelah mimpinya yang lain, ia sedang memerangi orang kafir dan ia berada di dalam sebuah gedung. Kemudian sebuah misil mendarat di gedung itu dan ia merasakan di sebelah kanannya ucapan “laa ilaaha illallah” dan ia Syahid. [akhir mimpinya] Dan ini lah yang terjadi pada kehidupan nyata, seperti kami ketahui bahwa pada detik-detik terakhir hidupnya, Abu Nuh sedang berada dalam sebuah gedung melawan orang kafir, dan saat ini gedung itu sudah rata dengan tanah, dimana Abu Nuh terbaring disana, dihujani bom bertubi-tubi oleh tentara kafir.
Dan satu mimpi juga pernah ia alami saat masih di Maladewa, yakni ia berangkat ke “Arab Saudi” dan melihat orang-orang disana seperti kera, kemudian ia pergi ke tempat lain dimana disana terdapat dinding-dinding yang tinggi dengan lukisan Islami di atasnya. Ia mersa sangat senang dan puas saat berada di tempat itu. Kemudian ia berjalan menyusuri sebuah jalur yang disediakan di tempat itu hingga ia tiba di sebuah tempat yang indah dan ia melihat gerbang-gerbang yang besar dan di dekatnya ada pria-pria tampan berjanggut panjang. [akhir katanya]
Saat ia tiba di Suriah pada kehidupan nyata, pernah ia menunjuk ke arah dinding-dinding di Suriah dan berkata bahwa itulah dinding yang ia lihat di mimpinya. Maka dapat dipastikan bahwa jalan yang ia lalui di mimpinya adalah jalan jihadnya yang ia tempuh di Suriah, hingga ia meraih Jannah. Allahu akbar.
Begitu pula dalam mimpinya yang lain ia melihat Rasulullah sallallahu alayhi wasallam tiba, maka ia bergegas untuk menjumpai beliau dan ia melihat orang-orang berkerumun di satu tempat lain di lain tempat yang ia akan tuju sebelumnya. Maka ia pergi melihat apa gerangan yang sedang terjadi dan ia temukan Rasulullah sallallahu alayhi wasallam berada di tengah-tengah kerumunan orang-orang itu, terhimpit kerumunan. Lalu saya bersalaman dengan Nabi. Abu Nuh kemudian mencoba mengatakan sesuatu tetapi ternyata salah ucap hingga Rasulullah sallallahu alayhi wasallam tertawa. Kemudian Abu Nuh adalah cahaya berpendaran dari kedua kakinya, dekat kedua lututnya. [akhir perkataanya]
Seorang ikhwan memberi tahu Abu Nuh bahwa mungkin itu pertanda dari kedua luka di kakinya di dekat lututnya dan itulah sumber dari keampunan Allah kepadanya. Abu Nuh mendapatkan mimpi itu saat ia masih berada di Maladewa.
Pada mimpinya yang lain. Abu Nuh melihat sekumpulan singa dan ia melihat dirinya melawan seorang musuh di samping Rasulullah sallallahu ‘alayhi wassallam. [akhir perkataannya]
Dan sehari setelah keSyahidannya, putra Abu Nuh yang masih berusia empat tahun terbangun dan berkata kepada ibunya, “Ayah saat ini sedang tidur di langit, betul kan?” Padahal saat itu, sang anak belum mendapatkan kabar tentang keSyahidan ayahnya.
Selain itu, selepas keSyahidan Abu Nuh, ibunya bermimpi bahwa ia berada di sebuah tanah tandus bersama keluarganya. Di tengah tanah itu terdapat sebuah tambang dan Abu Nuh keluar dari sana. Sepupunya memegang tangannya dan mengangkatnya ke atas. Lantas isteri Abu Nuh berdiri disana, bertanya kepadanya, “bagaimana engkau bisa ada disini?”, kemudia ia menjawab “dengan bergelantung pada sesuatu.” Kemudian isterinya bertanya lagi, “untuk apa?”, kemuadian ia tersenyum dan membalas dengan sebuah tanda cinta kepada isterinya. Saat itu, ibu Abu Nuh berlali menghampirinya dan mencoba memeluknya, lalu Abu Nuh menjawab, “Ibu, saat ini aku sangat tidak rapi dan berlumuran darah. Saya pergi sekarang.” [mimpinya berakhir]
Komentar dari sang ibunda atas mimpinya bahwa Abu Nuh memang tidak rapi namun berpakaian serba putih. Bajunya, janggut panjangnya, rambut dan semuanya berwarna putih. Dan ia menambahkan bahwa Abu Nuh tersenyum menggoda dalam mimpinya.
Dan masih banyak lagi mimpi tentang Abu Nuh yang (maaf) telah saya lupa saat ini, seiring bergulirnya waktu. Namun, selama bulan pertama kami di Suriah, saya pernah berpikir bahwa Abu Nuh barangkali akan menjadi Syuhada pertama dari kelompok kami, karena mimpi indah tentang keSyahidannya begitu sering dialami kami dan ia sendiri sejak petama kami tiba di bumi Suriah.
Mencari Syahid

Satu bulan sebelum keSyahidannya, Abu Nuh bersama ikhwan lain telah pergi menjumpai Syeikh Abu Sulaiman Al-Muhajir hafidahullah (anggota Dewan Syari’ah Jabhah Nushrah), meminta ia mendoakannya kepada Allah saat namanya terdaftar dalam operasi Syahid. Ia bahkan meminta Syeikh untuk menyebutkan tanggal oprasinya dalam doanya.
Berkenaan dengan ini, Syeikh Abu Sulaiman pernah merilis sebuah twitt setelah keSyahidan Abu Nuh, yakni “ia datang padaku beberapa hari lalu, rahimahullah memintaku untuk mendoakannya agar ia Syahid pada operasi yang ia telah daftarkan. Ia meneriakkan Syahadat dan datanglah kesyahidan.”
Dan pada hari keSyahidan menyentuh jasad Abu Turab dari Maladewa, Abu Nuh turut pula menjadi syuhada. Pada hari itu, Abu Nuh beradu argumen dengan Abu Turab, “saya mendaftarkan diri lebih dulu untuk ikut operasi Syahid, maka tidaklah adil kalau engkau Syahid lebih dulu dariku.” Dan sungguh, pada hari itulah keduanya Syahid dengan selisih waktu beberapa jam saja.
Pekik kesyahidan
Minggu, 25 Mei 2014, setelah Shubuh, empat orang syuhada mencium bumi, saling menjemput kesyahidan setelah ledakan demi ledakan bergema di seluruh wilayah itu. Abu Turab Syahid dalam keadaan bershaum. Turut setelahnya, Abu Nuh Syahid dalam Iqtiham (menghujani musuh dengan serangan bertubi-tubi). Kala itu masih pagi buta dan mereka belum ada yang sarapan. Mereka memerangi musuh tanpa takut, dalam jarak yang begitu dekat, merebut gedung demi gedung dari tangan musuh.
Abu Nuh sempat berkata bahwa ia akan memerangi musuh kafir dengan penuh semangat dan keberanian. Sebagai contoh, ia dengan semangat membara dan keberanian menjatuhkan dirinya ke tanah dekat posisi musuh dan menghujani mereka dengan tembakan AK-47-nya. Ia juga mengambil peluru-peluru dari mayat musuh dan membagikannya kepada para ikhwan. Menurut para ikhwan yang kembali dengan selamat, pertempuran saat itu merupakan operasi paling membahayakan dari pertempuran-pertempuran sebelumnya.
Abu Nuh dan beberapa ikhwan memasuki sebuah gedung. Alhamdulillah mereka dapat menguasainya dan bersemangat untuk merebut gedung yang lainnya lagi. Namun, tanpa diketahui, akibat kerepotan yang biasa dialami di medan tempur, ternyata Abu Nuh masih berada di dalam gedung. Padahal telah diumumkan di depan gedung bahwa semua harus meninggalkan tempat itu, namun tidak ada yang merespon. Selang beberapa jam, para ikhwan menyadari ada satu rekan yang hilang. Saat mereka hendak menjemput kembali Abu Nuh, gedung itu telah hilang, rata dengan tanah. Semua gedung di area itu telah hancur akibat pengeboman yang bertubi-tubi. Abu Nuh telah syahid.
Ia menjadi syuhada, membuktikan ucapannya sebelum berangkat menuju medan tempur, “saya tidak akan kembali lagi setelah hari ini. Saya tidak mengharapkan wafat saat tugas berjaga markaz, saya ingin syahid saat menembaki musuh di garda depan.”
Demikianlah yang dapat kami kumpulkan dari kisah kehidupan seorang pria hebat, dimana tiada keadilan dapat hadir dari perkataan yang tak bernilai dan dimana tak seorang pun dapat terlepas dari kesalahan. Air dalam jumlah yang banyak tentu tak dapat menjadi kotor akibat setitik noda yang menetes di atasnya. Pria-pria hebat tak akan dicelakai oleh kesalah-kesalahan kecil. Kami bermohon kepada Allah untuk menerima Abu Nuh dan Syuhada lainnya di tingkat tertinggi Jannah dan tidak mengurangi pertolongan-Mu kepada kami yang mengemis pertolongan hanya kepada Engkau.
Sungguh ikhwan kami tercinta telah mengalahkan kami meraih kesyahidan lebih dahulu dan kami bermohon kepada Allah agar menyertakannya bersama orang-orang terdahulu yang dekat dengan-Mu. Dan kami bermohon kepada Allah agar menganugerahi kami kesyahidan, keikhlasan berjihad fii sabilillah, demi mardhatillah tanpa berbalik kembali, di atas Aqidah dan Manhaj Rasulullah sallallahu alayhi wasallam, terbebas dari bid’ah dan syirik.
Ditulis oleh
Abu Dujanah Al-Maaldifi
01 Juni 2014
Bilad Al-Sham Media (Maldivians in Syria)
@BiladAlSham_Dhi
Diterjemahkan Oleh:
www.arrahmah.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar