Kisah Mantan Pendeta Mesir, Izzat Ishaq Muawwidh Yang Masuk Islam



Bottom of Form
Kisah Mantan Pendeta Mesir, Izzat Ishaq Muawwidh Yang Masuk Islam
Kisah Muallaf | admin kisah islam | September 21, 2012 21:04

Dia dulu merupakan seorang misionaris yang getol menyebarkan agama Nasrani, dengan menggunakan segala cara dan media; baik dengan menulis buku-buku yang berkaitan dengan agama Nasrani, maupun menggunakan kaset atau media lainnya untuk menyampaikan misi agama Nasrani.
Karir kependetaannya dilakukan secara bertahap dan semua dilaluinya sampai ia benar-benar menjadi seorang pendeta yang disegani di kalangannya. Namun setelah ia mendalami dan. mempelajari agama Nasrani, justru muncul keraguan di dalam hatinya tentang kebenaran akidah Nasrani. Keraguannya semakin bergelayutan manakala ia mendengarkan dan meresapi isi Al-Qur’an Al-Karim. Rihlah Imaniyah yang dilakukannya dijelaskan dalam ungkapannya berikut:
“Saya tumbuh dan berkembang dalam keluarga Nasrani yang taat dan saya mulai diperkenalkan dengan ajaran Nasrani sejak berumur empat tahun. Ketika saya berumur delapan tahun saya sudah terpilih menjadi salah satu kader gereja, saya memperoleh kedudukan istimewa dibandingkan dengan kawan-kawan seusia saya, karena saya mampu membaca dan memahami kitab suci yang menjadi pegangan Nasrani.”
Melihat kemampuan saya, pihak gereja menyarankan saya untuk melakukan persiapan guna memasuki jenjang perkuliahan teologi. Diharapkan setelah selesai perkuliahan ini, saya menjadi pendeta di gereja kota saya. Namun setelah saya menginjak usia dewasa, saya melihat fenomena yang mengenaskan antara pemuda dan pemudi Nasrani yang melakukan perbuatan sangat tercela dan perbuatan mereka itu disaksikan oleh pendeta di sana.
Selain itu, saya semakin ragu dengan agama Nasrani karena di dalam gereja, perempuan bercampur baur dengan laki-laki. Mereka melakukan peribadatan dengan tanpa bersuci terlebih dulu, bahkan mereka tidak memahami apa yang diucapkan dalam beribadah dan berdoa, melainkan hanya mendengar dan mengikuti apa yang dibaca oleh pendeta.
Ketika saya membaca sebagian besar kitab Nasrani, saya menjumpai apa yang dinamakan dengan “Tuhan Ruh Kudus” yang selalu diulang-ulang dalam teks keagamaan mereka, namun semua itu tidak saya jumpai dalam kitab suci mereka. perbedaan pendapat di antara pengikut Nasrani juga sangat banyak, bahkan pemahaman mereka terkadang saling kontradiktif. Hal itu terutama yang berkaitan dengan tafsir tentang trinitas.
Saya juga ragu tentang minuman keras, penghapusan dosa, kurban yang diberikan kepada pendeta, dan penebus dosa yang dilakukan oleh Al-Masih dengan mengorbankan darah dan jasadnya, sebagaimana yang digambarkan dalam cerita salib.
Dalam keraguannya ini, Izzat Ishaq Muawwidh selalu berkonsultasi dengan seorang dai Muslim. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam ungkapannya:
“Di saat saya ragu dengan agama Nasrani, ada sesuatu yang membuat saya simpati dengan praktik keagamaan kaum muslimin. Mereka melakukan shalat dengan khusyu’ dan sakinah (tenang). Walaupun saya tidak memahami apa yang mereka ucapkan, tetapi saya merasakan keteduhan bersama mereka.
Ketika Al-Qur’an dibacakan di hadapan saya, hati saya terasa sejuk, saya sangat senang mendengarnya dan saya merasakan sebagai orang yang sangat hina, karena tidak berada dalam naungan petunjuk Al-Qur’an. Sava juga heran dengan kaum muslimin yang melakukan puasa di bulan Ramadhan, ketika saya telaah ternyata puasa yang dilakukan oleh kaum muslimin lebih mulia daripada puasa Az-Zait yang dilakukan oleh kaum Nasrani. Karena puasa Az-Zait sebenarnya tidak terdapat dalam ajaran Nasrani, sehingga saya terkadang melakukan puasa di bulan Ramadhan sebelum saya benar-benar masuk Islam.”
Mendengar keluhan saya, da’i tersebut berkata,
“Setelah mendengarkan apa yang engkau paparkan tadi, saya menyimpulkan bahwa agama Nasrani adalah agama yang tidak sempurna dan tidak komprehensif. Saya juga telah melakukan survey beberapa referensi keagamaan dan melakukan perbandingan antar agama untuk mengetahui agama yang paling benar. Saya juga berdialog dengan beberapa penganut agama yang berbeda; dengan saudaraku kaum muslimin, kaum Nasrani dan pengikut lainnya yang mempunyai peran penting dalam agama masing-masing. Saya menyimpulkan bahwa umat Islam belum maksimal dalam menggali ajaran agamanya, sehingga mereka belum bisa mengimbangi peradaban umat lain. Padahal Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber ajaran agama dan peradaban yang paling sempurna.”
Kemudian lanjutnya, “Titik awal perubahan hidup saya terjadi pada awal bulan September tahun 1988. Ketika saya duduk bersama dengan Syaikh Al-Ustadz Rifai Surur. Saya manfaatkan untuk berdiskusi dan berdebat dengan beliau beberapa jam. Setelah berdiskusi dan saya menemukan cahaya kebenaran Islam, saya memohon kepada beliau untuk membimbing saya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengajarkan shalat.
Beliau meminta saya bersuci dan mandi untuk mengawali keislaman saya, kemudian saya mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah membaca dua kalimat syahadat, saya mendeklarasikan keislaman saya dan saya diberi nama baru, Muhammad Ahmad Ar-Rifai, menggantikan nama lama yang telah melekat dalam diri saya, Izzat Ishaq Muawwidh. Saya meninggalkan nama lama, mengganti dokumen-dokumen resmi dengan nama baru, dan menghapus tato bergambar salib yang ada di lengan saya dengan melakukan operasi.”
la kemudian menambahkan lagi,
“Cobaan pertama kali yang menimpa pada diri saya setelah saya menyatakan masuk Islam adalah adanya boikot dari keluarga besar terhadap saya dan saya dilarang oleh ayah memiliki sebagian hak saya dalam saham perusahaan yang dulu pernah kami rintis. Perlakuan dari keluarga seperti ini tidak membuat saya surut dan patah arang, bahkan saya semakin semangat untuk mendalami dan mengamalkan ajaran Islam. Saya yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan memberikan ganti dengan persaudaraan Islam dan kehidupan yang lebih baik lagi.”
Setelah bercerita panjang lebar, ia kemudian menutup pembicaraannya dengan mengatakan,
“Segala rintangan yang saya hadapi semoga tidak hanya bermanfaat pada diri saya sendiri, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain. Terutama sekali karena saya telah menguasai seluk beluk agama Nasrani dan Islam, ini merupakan bekal yang sangat berharga bagi saya dalam mengembangkan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Foot Note:
1] Lembaran yang berjudul Al-Muslimuun, yang disebarkan pada tanggal 4/10/1991.
Sumber: Kisah Pastur & Pendeta Yang Masuk Islam, Syaikh al-Husaini al-Muiddi, Penerbit al Kautsar

3 komentar:

  1. ...pendetanya yg goblok....sudahlah tidak perlu ngarang2 cerita ngga masuk akal ky ginian,ngga mutu blas!

    BalasHapus
  2. subhanallah...kebenaran tdk bisa dihalangi..Allahu Akbar

    BalasHapus