Cara Media Kristen dan Sekuler
Menghancurkan Islam
- Media kristen dan sekuler itu menghancurkan Islam dan umat Islam dengan menggunakan : “pikiran”, “mulut”, dan “tangan” orang Islam sendiri. Tentu, yang paling terkenal, dan paling mereka hafal yaitu menggunakan teori atau teknik, “war by proxy”, perang dengan menggunakan tangan orang Islam sendiri, guna menghancurkan umat Islam.
- Melakukan adu-domba antara kelompok moderat dengan kelompok fundamentalis yang dianggap ekstrim, secara terbuka.
- Adu domba itu, tujuannya hanya satu: menghancurkan dan melemahkan pengaruh kelompok-kelompok yang dituduh fundamentalis.
- Media kristen dan sekuler itu, mereka menggunakan tokoh yang berasal dari kampus semacam UIN, yang dahulunya dikenal dengan IAIN, yang berpikiran sekuler. Tetapi, di kalangan awam, banyak yang tidak tahu, bahwa Universitas semacam UIN itu, sejatinya menjadi gudangnya pemikir-pemikir sekuler, produk pendidikan Barat. Tidak ada sedikitpun yang mereka sampaikan (lewat media) itu, dapat dikatakan mewakili kepentingan Islam dan umat Islam.
- Media kristen dan sekuler dengan sangat pandainya memainkan kartu “cendekiawan muslim“, yang diberi covered begitu hebat, seperti Nurcholis Madjid, Muslim Abdurrahman, Abdurrahman Wahid, Syafi’i Maarif, Said Agil Siraj, Bachatiar Effendi, Azzumardy Azzra, Johan Effendi, Utomo Dananjaya, Ahmad Wahib, Abdul Mukti, dan sejumlah tokoh lainnya, yang terang-terangan sudah menelanjangi prinsip Islam.
Inilah sorotannya:
Bagaimana Cara Media Kristen dan Sekuler Menghancurkan Islam?
Begitu luar biasa gencarnya media kristen dan
sekuler membuat opini yang sangat destruktif terhadap Islam dan umat Islam.
Tujuannya hanya bagaimana membuat phobia di kalangan bangsa Indonesia
yang 240 juta penduduknya, dan 85 persen beragama Islam.
Pertama, media kristen dan sekuler, secara
konsisten dan terus-menerus mengangkat tentang toleransi dan pluralisme.
Media kristen dan sekuler secara konsisten dan
terus menerus memberikan “covered” terhadap
kelompok-kelompok yang diberi lebel sebagai moderat. Kelompok moderat itu,
mendapatkan pencitraan sebagai kelompok yang sangat toleran dan berpaham
inklusif.
Di sisi lain, media kristen dan sekuler
itu, secara konsisten dan terus-menerus menciptakan opini, kelompok-kelompok
yang ingin mengupayakan tegaknya nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam,
kemudian diberi label sebagai militan, fundamentalis, ekstrim, dan tidak
toleran.
Kemudian, kelompok yang ingin menegakkan
nilai-nilai Islam itu, diberi sebagai kelompok yang anti toleransi dan
eksklusif, dan umat didorong menjadikan kelompok yang ingin menegakkan
nilai-nilai Islam itu, bukan hanya eksklusif, tetapi membahayakan
keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), serta bhinneka
tunggal ika.
Langkah berikutnya, melakukan adu-domba antara
kelompok moderat dengan kelompok fundamentalis yang dianggap ekstrim, secara
terbuka.
Adu domba itu, tujuannya hanya satu ;
menghancurkan dan melemahkan pengaruh kelompok-kelompok yang dituduh
fundamentalis. Sehingga, terbentuk opini yang bersifat menyeluruh bahwa Islam
fundamentalis dan kelompok militan itu, sangat tidak toleran, dan membahayakan
persatuan bangsa, serta keutuhan negara.
Media kristen dan sekuler menghancurkan kalangan
Islam dan kelompok yang dituduh fundamentalis itu, menggunakan cara yang sangat
sistematis dan terencana secara rapi. Penghancuran itu dilakukan secara gradual
(bertahap), tetapi mempunyai dampak jangka panjang yang sangat serius, terutama
terkait dengan kepercayaan umat dan bangsa terhadap nilai-nilai Islam sebagai
sistem nilai.
Media kristen dan sekuler itu, menghancurkan
Islam dan umat Islam dengan menggunakan : “pikiran”, “mulut”,
dan “tangan“, orang Islam sendiri. Tentu, yang paling
terkenal, dan paling hafal mereka itu, menggunakan teori atau tehnik, “war by proxy”, perang dengan menggunakan tangan orang Islam sendiri, guna
menghancurkan umat Islam.
Seperti dalam menggalang opini yang bertujuan
menghancurkan kalangan fundamentalis itu, media kristen dan sekuler itu,
menggunakan tokoh-tokoh Islam, tokoh-tokoh ormas Islam, tokoh lembaga pendidikan
Islam, yang dipandang memiliki legitimasi yang kuat di mata masyarakat.
Sehingga masyarakat percaya dan seakan meyakinkan, bahwa tokoh yang menghantam
mereka yang dituduh fundamentalis itu, mereka tokoh yang benar dan jujur.
Media kristen dan sekuler itu, mereka menggunakan
tokoh yang berasal dari kampus semacam UIN, yang dahulunya dikenal dengan IAIN,
yang berpikiran sekuler.
Tetapi, karena dikalangan awam, banyak yang tidak
tahu, bahwa Universitas semacam UIN itu, sejatinya menjadi gudangnya pemikir-pemikir
sekuler, produk pendidikan Barat, tetapi dikalangan umat masih dipandang
memiliki kapasitas, dan legitimasi guna berbicara atas nama Islam, atau
menganggap sebagai pemikir Islam. Padahal, tidak ada sedikitpun yang mereka
sampaikan itu, dapat dikatakan mewakili kepentingan Islam dan umat Islam.
Media kristen dan sekuler dengan sangat pandainya
memainkan kartu “cendekiawan muslim“, yang diberi covered
begitu hebat, seperti Nurcholis Madjid, Muslim Abdurrahman, Abdurrahman Wahid,
Syafi’i Maarif, Said Agil Siraj, Bachatiar Effendi, Azzumardy Azzra, Johan
Effendi, Utomo Dananjaya, Ahmad Wahib, Abdul Mukti, dan sejumlah tokoh lainnya,
yang terang-terangan sudah menelanjangi Prinsip Islam sebagai “cendekiawan
muslim”.
Tokoh-tokoh seperti itu yang banyak pernyataannya
dikutip melalui laporan khusus, wawancara, dan berbagai pendapat, yang
digunakan sebagai “war by proxy”, menggebuki mereka yang
dianggap fundamentalis. Tentu, yang paling terkenal sepanjang sejarah Republik
ini, pernyataan Nurcholis Madjid, yaitu “Islam Yes, Partai Islam No”.
Pemikiran Nurcholis Madjid inilah yang sampai sekarang terus bergema.
Pernyataan Nurcholis itu, tak lain, hanyalah
menguatkan posisi rezim Orde Baru, yang dipimpin Soeharto di awal
pemerintahannya, yang baru tahap konsolidasi. Pernyataan Nurcholis Madjid, yang
sangat sekuler itu, sesungguhnya menjadi alat bagi media kristen dan sekuler,
terutama bagi penggebuk para kelompok Islam politik.
Media Kristen dan sekuler itu, menghadapi
kalangan fundamentalis, yang sudah masuk dalam “red notice”,
kelompok-kelompok yang sudah dianggap bagian dari gerakan radikal, yang
menggunakan senjata, alias “teroris“, maka kelompok media kristen
dan sekuler, mereka menggunakan “tokoh-tokoh” yang alumni
dari pesantren yang dicap sebagai gudangnya teroris.
Tetapi, tokoh-tokoh yang menjadi alumni pesantren
gudangnya teroris itu, sesungguhnya tokoh sudah kehilangan integritas, sudah
“murtad”, dan karena sejatinya mereka itu, orang upahan aparat keamanan, yang
digunakan membentuk opini negatif terhadap kelompok-kelompok yang dituduh
teroris.
Tentu, sangat memprihatinkan sekali, umat Islam
di mana saja, seperti di Solo, Ambon, Poso, yang sudah menjadi korban tindakan
semena-mena aparat, tidak ada satupun kalangan tokoh Islam, yang berani mengangkat
dan berbicara tentang masalah penzaliman itu. Seakan kalau sudah diberikan
label teroris itu, sudah sifatnya “given” kalau
dibunuh atau ditembak oleh aparat keamanan.
Maka, sekarang ini yang ada hanyalah tokoh-tokoh
Islam yang sudah “koplo” alias “dayus”, karena
otak mereka sudah dicuci habis oleh media kristen dan sekuler, sampai tak
berani lagi mengatakan, “Isyhadu bi annaa muslimun”.
Mereka tidak berani menyatakan jati dirinya,
tidak berani lagi menyatakan dirinya sebagai pejuang penegak Islam.
Mereka telah dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia, takut mati),
di mana mereka telah mengalami “collective fears” (ketakutan
massal). Mereka seperti melihat hantu di siang bolong. Sembari mulutnya
komat-kamit membuat mantera bagi legitimasi rezim yang zalim itu.
Umumnya, tokoh-tokoh Islam itu perutnya sudah
kenyang, tak berani lagi melawan kemungkaran, dan terlalu banyak menikmati yang
haram dan syubhat, dan bergelimang dengan kehidupan duniawi. Maka Allah Azza Wa
Jalla mencabut dari dada mereka sifat syaja’ah, dan yang ada hanya sikap yang
menjadi pembebek. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar