Sejak memeluk Islam, ia ingin bertemu ketiga anaknya yang dibawa pergi keluarganya.
Suara azan Subuh menyayat-nyayat
hati Yudi Mulyana, pendeta yang juga staf pengajar agama Kristen di
sebuah sekolah dasar di Cirebon, pagi itu. Jantungnya berdegup kencang.
Ia limbung dan roboh.
''Saya tak tahu apa yang terjadi
dengan diri saya pagi itu,'' ujarnya sambil menceritakan kejadian di
pengujung Agustus 2008. Padahal, ia memang terbiasa bangun pagi,
berbarengan Subuh. Melakukan doa pagi dan membaca Alkitab adalah
aktivitas rutinnya membuka hari.
Namun pagi itu, ia seolah
lumpuh. Meski panik, ia mencoba tenang. Yudi membuat banyak asumsi untuk
menghibur diri. Namun, tak satu pun mampu menolongnya. Hatinya menjadi
tenang setelah membuka saluran televisi menyaksikan acara zikir yang
dipimpin oleh Ustaz Arifin Ilham. Ia berkomat-kamit mengikuti zikir yang
dibacakan jamaah Arifin di layar televisi. ''Tuhan, apa yang terjadi
dengan diri saya,'' tuturnya. Kalimat Thayyibah menenteramkannya hingga
ia bisa bangkit dan kembali berjalan.
Yudi mencari permakluman bahwa
fisiknya terlalu capek. Kuliah S-2 Teologi di sebuah perguruan tinggi di
Bandung, sementara dia tinggal di Cirebon, menyita perhatian dan
energinya. ''Besok juga sembuh,'' pikirnya kala itu.
Namun, kendati fisiknya sudah
segar, ia kembali mengalami peristiwa yang sama keesokan harinya.
Bahkan, setiap kali mendengar suara azan, tubuhnya bergetar. Di waktu
lain, hatinya gelisah setiap kali menyentuh Alkitab.Pada pekan yang
sama, ia menemui Ustaz Nudzom, putra ketua Majelis Ulama Indonesia
Kabupaten Cirebon. Ia menceritakan pengalamannya. Komentar Nudzom saat
itu, ''Anda mendapat hidayah.''Mendengar jawaban itu, hati Yudi
berontak. ''Tuhan, saya tak ingin menjadi Muslim,'' ujarnya.
Bersyahadat
Pengalaman di ujung fajar
itu selalu menghantui pikiran Yudi. Ia makin merasa tak nyaman berada di
gereja. Anehnya, hatinya menjadi adem saat melintas di depan masjid
atau secara diam-diam masuk ke area masjid. Puncaknya, tanggal 7 Agustus
2008 saat sedang mengajar, ia mendengar suara azan seolah berkumandang
di telinganya. ''Timbul keinginan yang kuat dari dalam diri saya untuk
membaca syahadat,'' ujarnya.
Ia segera menemui Dra Hj Sri
Hayatun, kepala sekolah tempatnya mengajar. Sri keheranan dengan sikap
Yudi. Di Cirebon, ia dikenal sebagai guru dan pendeta militan. Sepak
terjangnya selama ini membuat ratusan Muslim sukses dimurtadkan (keluar
dari Islam). Dia kemudian diantar ke Kantor Departemen Agama Kota
Cirebon. Bahkan, salah seorang pejabat di kantor itu menyarankannya
untuk pulang dan berpikir sungguh-sungguh. ''Berpindah keyakinan bukan
perkara main-main,'' kata pejabat Depag tersebut sebagaimana ditirukan
Yudi.
Namun, tekadnya sudah bulat.
Bahkan, telepon mamanya yang meminta Yudi untuk mengurungkan niatnya,
diabaikannya. ''Meski saya menjadi Muslim, saya tetap akan menjadi anak
mama,'' jelasnya kepada perempuan yang melahirkannya di ujung telepon.
Maka siang itu, dibimbing oleh
KH Mahfud, ia bersyahadat. Dan, berita pendeta menjadi Muslim segera
tersebar ke seantero kota. Saat pulang, ia menjumpai rumahnya sudah
kosong. Istrinya yang mendengar kabar itu segera mengungsikan diri dan
anak-anaknya ke Indramayu. Surat cerai dilayangkan dua bulan kemudian.
Lima Hal
''Saya melakukan pencarian
teologis setelah saya bersyahadat,'' kata Yudi. Ia memulai dengan
pertanyaan, Apakah ajaran semua agama sama? Kalau sama, harus jelas di
mana persamaannya dan pasti. Kalau ada yang berbeda, juga harus jelas
perbedaannya.
Dari hasil penelusurannya,
sedikitnya Yudi menemukan ada lima persamaan ajaran agama-agama besar,
yaitu harus menyembah Tuhan; mengenal konsep dosa; hidup adalah mencari
jalan ke surga; harus berbuat baik; dan ada kehidupan setelah kematian.
Setelah diteliti lagi, kata dia, ternyata hanya temanya saja yang sama,
tetapi ajaran dan konsepnya berbeda.
''Saya mulai bertanya, jadi
Tuhan itu satu atau banyak?'' ujarnya. Maka, ia mempersempit persoalan,
hanya tentang konsep keesaan Tuhan dan soal pengampunan dosa. Ajaran
Islam dan Kristen tentang kedua hal itu pun dipersandingkan.Dalam
Kristen, Adam dan Hawa yang terusir dari surga meninggalkan dosa warisan
bagi anak cucunya. ''Berarti proses pengampunan Tuhan tidak tuntas,''
ujarnya. Padahal, Tuhan tentulah bukan pendendam seperti sifat
makhluk-Nya.
Dalam Islam, ia menemukan hal yang beda. Manusia terlahir
dalam kondisi fitrah. Dia menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan
menjadi rahmat bagi seluruh alam.Ia juga dibuat terkagum-kagum dengan
asmaul husna . ''Tuhan itu satu, tapi Dia mempunyai 99 nama yang
melambangkan sifat-Nya,'' ujarnya.'Perilaku Tuhan' dalam Islam, kata
dia, melambangkan nama-nama itu. '' Kenapa Allah menghukum, karena dia
mempunyai sifat Adil. Namun, Dia juga pemaaf Ghafurjuga rahman dan
rahim,'' tambahnya.Ia makin yakin dengan pilihannya. ''Hanya Islam yang
konsep ketuhanannya bisa dipahami secara rasional,'' ujarnya.
Giat berdakwah
Kini, hari-hari Yudi Mulyana
diwarnai dengan berbagai kesibukan dakwah. Dia memberi testimoni dalam
dakwahnya ke berbagai kota di Indonesia. Saat Republika menemuinya di
Jakarta, Yudi baru beberapa hari pulang umrah. Sebelumnya, ia selama
seminggu berada di Provinsi Riau.''Saya ingin menebus dosa-dosa saya
telah memurtadkan sekian banyak orang dengan menjadi pendakwah,''
ujarnya.
Ia menyebarkan pesan-pesan Islam
kepada siapa saja yang ditemuinya. ''Saya selalu bilang, Anda semua
beruntung menjadi Muslim sejak awal. Islam itu agama agung yang
ajarannya sangat masuk akal.''Dia mencontohkan dirinya, yang harus
kehilangan keluarga karena pilihannya menjadi Muslim. Bukan perkara
mudah, karena selama lebih dari 10 tahun perkawinannya, tak pernah ada
gejolak dalam rumah tangganya. ''Kami keluarga yang hangat,'' ujarnya.
Yudi selalu berkaca-kaca kalau
menceritakan anak-anaknya. Dia dan anak-anaknya kini dipisahkan. Meski
kini dia telah memiliki keluarga baruia menikah dengan seorang Muslimah
asal Cirebonkerinduan pada buah hatinya tak pernah pupus.Ada satu
mimpinya, Yudi ingin menjadi imam shalat bagi ketiga buah hatinya.
''Saya ingin sekali ketemu mereka dalam Islam,'' ujarnya terbata-bata.
Mengkristenkan Orang dalam 1,5 Jam
Yudi Mulyana termenung
sejenak ketika ditanya orang Islam yang berhasil dimurtadkannya. ''Sudah
tak terhitung jumlahnya,'' jelasnya. Apalagi, mereka yang berhasil
dimurtadkan itu biasanya juga aktif melakukan pemurtadan terhadap
orang-orang yang ada di sekitarnya. Sebelum menempuh pendidikan S-2, aku
Yudi, metode yang dikembangkan untuk memurtadkan orang masih
menggunakan metode konvensional. ''Bersahabat, membantu, lalu diajak
masuk Kristen. Itu cara yang sudah sangat kuno,'' ujarnya.
Ia dan rekan-rekannya kemudian
mengembangkan sistem baru untuk menarik jamaah. Caranya adalah dengan
'masuk' ke alam pikiran orang yang bersangkutan, mengguncangkan
keimanannya, dan mengajaknya kepada cahaya, agama baru yang dibawanya.
Secara khusus, Yudi mendalami
dan mengembangkan teori untuk menarik remaja dan anak-anak berpindah
keyakinan. Untuk anak SD, misalnya, ada metode yang disebutnya 'Buku
Tanpa Kata'. Dalam buku itu, hanya ada lima warna yang menyimbolkan
keyakinan. Sampai di satu titik, sang anak akan dibimbing pada satu
warna yang merujuk pada agama yang ditawarkannya. Dan, hanya dalam waktu
singkat, ia berhasil memurtadkan anak-anak itu. ''Hanya dalam 1,5 jam
saja, mereka sudah siap untuk meninggalkan agama lamanya,'' jelasnya.
Bersama komunitasnya, Yudi aktif
mengembangkan metode-metode baru Kristenisasi. Motode ini lahir dari
beragam praktik yang dilakukan di lapangan. ''Secara berkala kami
berkumpul untuk melakukan evaluasi.''Demi mengemban misi 'menggarap'
anak-anak pula, Yudi rela untuk menjadi pegawai negeri dan mengajar di
sekolah dasar. ''Sungguh, awalnya saya stres mengajar anak-anak.
Biasanya saya mengajar mahasiswa dan para misionaris dewasa,''
tambahnya.
Namun, Yudi dinilai sukses
mengemban misi itu. Anak-anak yang berhasil dimurtadkannya, disiapkan
untuk menjadi misionaris kecil. Biasanya, begitu masuk kelas 4 SD,
mereka diberi materi-materi dasar. ''Begitu mereka kelas 5 dan 6 SD,
mereka mulai militan. Mereka sudah bisa menarik teman-teman sebayanya
untuk pindah agama,'' jelasnya.
Ia saat itu meyakini, tugas
menyebarkan agama bukan hanya tugas rohaniawan, tapi juga seluruh
jamaah. ''Jadi, yang awam pun harus dimobilisasi untuk menjadi penyebar
agama,'' jelasnya.Dasar pemikirannya, kata Yudi, sederhana saja, yaitu
bahwa seekor domba itu hanya akan lahir dari domba juga, bukan gajah
atau yang lain. ''Jadi, yang bisa mengajak seseorang kepada iman yang
kami yakini saat itu, ya orang dari komunitas itu,'' katanya.
Maka, selain anak-anak SD, ia
juga mengader tukang becak, buruh pabrik, hingga karyawan. ''Merekalah
yang nantinya akan menjadi penyeru di lingkungan mereka,'' tambahnya.Ia
juga menemukan sendiri metode yang disebutnya 'aliran hidayah'. Intinya,
setiap hari ia mewajibkan dirinya untuk bercerita tentang ajaran
agamanya saat itu. Perkara orang yang diajak bercerita itu berpindah
agama atau tidak, biarkan hidayah yang bicara. ''Dalam satu hari, saya
harus menyiarkan syalom minimal pada satu orang,'' ujarnya.
Setiap Muslim itu dai
Kini, setelah menjadi
Muslim, metode yang ditemukannya itu pun digunakannya. Dalam sehari,
minimal ia berdakwah pada satu orang. ''Kata ajaran agama kita,
sampaikan walau hanya satu ayat,'' ujarnya mengutip hadis Nabi
SAW.Menurutnya, tak harus menjadi dai untuk bisa mendakwahkan Islam.
Setiap Muslim, kata dia, bisa menjadi penyeru (dai). ''Setiap Muslim
adalah misionaris bagi agamanya,'' ujarnya.
Ia mengkritik lemahnya umat
Islam dalam soal ini. Semestinya, setiap Muslim menjadi public relation
bagi agamanya, karena sesungguhnya hanya Islam-lah agama yang konsep
ketuhanannya bisa dipertanggungjawabkan, bahkan secara rasional.
''Jangan hanya karena yang lain dan dengan alasan menegakkan toleransi,
mereka justru mendangkalkan akidahnya sendiri,'' ujarnya.
www.mualaf.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar